Bekal Menghadapi VUCA

Bekal Menghadapi VUCA

Bekal Menghadapi VUCA

Leadership Workshop Akademi Berbagi: Bekal Menghadapi VUCA

 

“Volunteerism is the core of human civilization.”

 

Demikian yang diungkapkan Prof. Roby Muhamad dalam kegiatan “Leadership Workshop Akademi Berbagi”. Mengapa demikian? Coba kita tengok realita di sekitar kita. Institusi terbesar di dunia yang tidak pernah mati adalah ‘agama’. Dalam penyebaran agama apa pun di dunia ini, pendekatan yang digunakan adalah dengan menggunakan kata-kata yang indah dan menyentuh hati manusia. Hal ini bisa kita buktikan saat kita membaca kitab suci, kata-kata serta cerita yang tertulis di sana sangatlah indah. Lalu, apakah dalam beragama, baik penganut maupun penyebarluasannya, para manusia itu dibayar? Tentu tidak. Semuanya bergerak dengan hati sebagai relawan, tanpa bayaran. Kuncinya adalah bahasa dan volunteerism.

 

Roby Muhamad at Leadership Workshop Akademi Berbagi

 

Saya beserta 19 orang relawan Akber dari berbagai kota (terpilih) pun termenung sambil mengangguk-angguk saat mendengar penjelasan Prof. Roby tersebut. Apa yang dikatakan benar, ternyata manusia lebih tergerak untuk melakukan suatu hal karena hati mereka telah tersentuh oleh cerita, bukan karena imbalan materi yang akan mereka terima. Seperti halnya realita terdekat yang terjadi saat ini. Orang dengan lantangnya menyuarakan pembelaan terhadap pasangan calon presiden masing-masing, terutama di social media, termasuk sebagian saudara & teman-temanku. Padahal, mereka tidak dibayar. Hati mereka tersentuh dengan cerita-cerita narasi tentang para paslon yang beredar disekelilingnya.

 

Dari situlah saya setuju dengan apa yang Mba Ainun Chomsun sampaikan saat pembukaan “Leadership Workshop”, bahwa kemampuan literasi itu sangatlah penting. Kemampuan literasi bukan hanya tentang membaca atau menulis. Lebih dari itu, bagaimana kita mampu memahami makna dari sebuah tulisan, serta mampu menjelaskan gagasan yang kita miliki hingga orang lain paham. Kemampuan literasi sangat diperlukan di setiap aspek kehidupan serta profesi. Oleh karena itu, Akademi Berbagi Foundation (ABF) menjadikan peningkatan kemampuan literasi sebagai salah satu fokus dari workshop kali ini.

 

Marissa Hapsari at Leadership Workshop Akademi Berbagi

 

Saat sesi materi bersama Prof. Roby, saya sempat tercengang dengan pernyataan Mba Marissa Hapsari (sebagai salah satu mentor di Leadership Workshop Akademi Berbagi), bahwa hingga tahun 2022 akan ada sekitar 133 juta pekerjaan yang hilang. Hal ini sudah mulai kita rasakan. Banyak hal yang tadinya dikerjakan oleh manusia, digantikan oleh robot. Namun demikian, ini bukan berarti manusia tersaingi dan tergantikan perannya oleh teknologi. Dengan teknologi yang semakin maju, posisi manusia semestinya menjadi semakin tinggi, dengan peran yang lebih penting. Akan lahir berbagai profesi baru, yang mewajibkan adanya kompetensi tertentu. Beberapa hal yang mampu mendongkrak kemampuan agar mampu beradaptasi dengan jaman yang serba berubah ini antara lain: curiosity, insight, engagement, determination. Empat hal tersebut akan lebih optimal dengan ditunjang oleh kemampuan leading, inovasi, creativity & problem solving.

 

Selain belajar bersama Mba Marissa dan Prof. Roby, di hari pertama workshop kami juga dibekali dengan keterampilan yang diperlukan dalam menyusun ‘social media campaign’ oleh Mas Didut. Di sesi ini, kami belajar hal-hal penting dalam penyusunan campaign, mulai dari branding, content plan, hingga monitor, report & review. Malam harinya, ada sesi internal, dimana kami dapat belajar mengenai pengelolaan gerakan Akber bersama Mba Ainun Chomsun dan Mas Yhanuar Purbokusumo sebagai founder & co-founder Akademi Berbagi.

 

Workshop hari kedua, kami belajar berbagai keterampilan yang berkaitan dengan kemampuan literasi. Diawali dengan belajar public speaking bersama Prabu Revolusi. Masih berkaitan dengan materi-materi sebelumnya, ternyata ‘dunia public speaking’ pun mengalami perubahan. Sebelum adanya internet, komunikasi sangatlah simpel. Ada dua pihak yang berperan, pemberi informasi dan penerima informasi. Kini, dengan adanya pergeseran media, telah menggeser semuanya. Informasi digital kini lebih dipercaya, yang lain (seperti halnya ahli, media resmi, dll) hanya sebagai pengkonfirmasi. Teknologi memungkinkan semua orang menjadi public speaker.

 

Sebelum digital berkembang demikian pesatnya, public speaking berfokus pada retorika. Orang yang pandai bicara dengan teknik yang benar, bahasa yang baik, dsb, mampu menarik perhatian orang-orang disekitarnya. Adapun 3 unsur public speaking yang dipegang saat itu adalah logos (apa yang dibicarakan), ethos (siapa yang bicara), dan pathos (emosi yang digunakan saat bicara). Kini, hal itu telah bergeser. Untuk menjadi speaker yang mampu menarik perhatian, kita tidak hanya ahli retorik, melainkan juga ahli narasi. Kini manusia lebih tertarik pada narasi, yakni cerita yang dibangun dari apa yang ingin disampaikan. Apa yang membuat orang terpengaruh itu bukan lagi cara kita dalam menyampaikan sesuatu, melainkan narasi yang koheren atas hal tersebut. Seberapa nyata atau dekat narasi tersebut dengan kehidupan  kita. Adapun narasi yang lebih bisa diterima oleh orang lain adalah narasi yang diwujudkan dalam bentuk cerita. Cerita lebih bisa dipersepsi positif oleh audience dan jarang menuai kritik.

 

Setelah serius belajar tentang public speaking, suasana ruang workshop menjadi cair saat Mas Glenn Marsalim mengajak kami berdiskusi tentang “Creative Thinking”. Pembawaannya yang ceria, komunikatif dan humoris membuat kami happy sepanjang sesi. Menurut Mas Glenn, kreativitas itu seringkali muncul dengan dilatarbelakangi oleh masalah. Kreativitas muncul, memberikan solusi untuk sebuah masalah. Salah satu fungsi ‘kreatif’ adalah membuat sesuatu yang sulit menjadi mudah. Kreatif itu bukan hanya omongan, wacana atau bahkan impian, melainkan aksi untuk mewujudkan ide atau solusi atas masalah.

 

Ruang workshop kembali serius saat kami belajar “presentation skills” bersama Mba Cynthia Wihardja. Disini kami belajar hal-hal yang perlu kami persiapkan dan lakukan saat melakukan presentasi di depan orang lain. Selain itu, kami juga diajarkan keterampilan yang diperlukan dalam penyusunan materi presentasi yang baik. Hari kedua ditutup dengan materi menulis yang dimentori oleh Mba Windy Ariestanty. Bersamanya, kami belajar tentang tahapan yang perlu dilakukan dalam menyusun tulisan yang persuasif. Selain itu, kami diajak berdiskusi mengenai langkah-langkah menulis yang baik dan terstruktur.

 

Kehadiran Mba Yanti, Bang Zul dan Mba Esti memberikan semangat yang lebih di hari terakhir workshop. Kami diajak bermain dengan beberapa games yang tentunya bermakna. Dalam setiap games terdapat nilai-nilai serta sikap yang perlu kami miliki dalam menghadapi tantangan di masa kini dan esok, yakni VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity).

 

Dengan berakhirnya sesi ini, lengkap sudah bekal kami. Kini kami siap kembali ke kota masing-masing, untuk membangun Akber kota menjadi lebih baik lagi. Volunteerism menjadi kunci kami untuk terus maju & mampu beradaptasi di zaman yang cepat berubah ini. Kemampuan literasi yang baik, dapat membantu kami dalam membangun cerita yang baik pula untuk terus menyebarkan  semangat belajar yang tanpa henti, bersama Akademi Berbagi.

 

Saya merasa sangat beruntung menjadi bagian dari 20 orang relawan terpilih dari seluruh nusantara, yang berkesempatan mengikuti “Leadership Workshop”. Terima kasih saya sampaikan kepada Akademi Berbagi Foundation atas reward yang sangat berharga ini, serta para mentor, panitia & seluruh yang terlibat, atas tiga hari yang sungguh bermakna.

 

Tulisan oleh Ilmi Dian Asrini, Relawan Akademi Berbagi Jadetabek.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *