Sebuah Cerita Tentang Berbagi – Bagian 1

Sebuah Cerita Tentang Berbagi – Bagian 1

Dulu, Ayah saya pernah menasehati ketika saya menyerah belajar naik sepeda karena belum-belum sudah jatuh babak belur, “Nak, di dunia ini tidak ada yang tidak bisa kalau kamu mau.

Kata-kata itu selalu terngiang di setiap saya ingin menyerah terhadap sesuatu. Begitu pun ketika saya berhenti dari pekerjaan saya yang sudah 10 tahun saya geluti. Ada perasaan gamang, karena jenuh dan merasa tidak melakukan apa-apa, semua hanya sekedar bekerja untuk mencari nafkah. Keinginan untuk keluar kerja begitu kuat, tetapi di satu sisi ketakutan akan kehilangan zona nyaman juga terus menghantaui sehingga hampir 2 tahun terus bekerja tanpa berani melakukan perubahan. Hingga di satu titik ketika akhirnya saya memberanikan diri mengambil keputusan untuk berhenti dari pekerjaan saya dengan satu keyakinan bahwa pasti ada jalan kalau saya punya kemauan.

Beruntung saya generasi yang ikut menikmati sebuah perubahan berkomunikasi dan bersosialisasi yaitu melalui kemajuan dunia digital. Saya kemudian aktif memanfaatkan media sosial untuk menjalin relasi dan mencari informasi. Di situ saya terhubung dengan jutaan manusia yang sebagian besar tidak saya kenal sebelumnya dan banyak menemukan hal-hal baru. Saya ingin membuat perubahan dalam diri, dan salah satu caranya adalah dengan belajar. Teman-teman saya sempat bertanya, mau belajar apa di usia yang sudah cukup matang? Apa bisa mempelajari hal baru dan kemudian berkarya di bidang yang baru? Saya tidak bisa menjawab keraguan teman-teman saya, tetapi saya percaya jika saya belajar pasti akan mendapatkan sesuatu.

Dari 140 karakter, saya dipertemukan dengan orang-orang baik dan pintar. Keinginan saya untuk belajar kemudian terjawab di twitter. Suatu kali saya memberanikan diri bertanya kepada salah satu senior di bidang advertising, Bapak Subiakto (CEO Hotline Advertising) di twitter, bahwa saya ingin belajar tentang copywriting dan di mana saya bisa belajar. Ternyata Pak Bi (Subiakto) merespon pertanyaan saya dengan cepat dan menjawab bahwa beliau berkenan mengajar copywriting asal saya mengumpulkan 10 orang dan GRATIS.

Woow… saya kaget dan tentu saja senang. Tanpa berpikir panjang saya langsung umumkan melalui twitter juga siapa yang ingin belajar copywriting bersama Pak Bi, silakan mention saya. Tidak sampai satu jam pendaftar yang masuk lebih dari 30 orang. Kembali lagi saya kaget, ternyata banyak juga yang ingin belajar. Akhirnya kelas pertama dimulai dengan murid 25 orang, sengaja dibatasi agar bisa belajar dengan lebih intensif. Ini terjadi setahun yang lalu di bulan Juni 2010.

***

Setelah kelas pertama, ternyata para murid masih ingin belajar sehingga dibukalah kelas-kelas berikutnya, dan tidak cuma Pak Bi. Saya mendapatkan tawaran guru dari orang-orang hebat yang membaca aktivitas saya melalui twitter. Setiap kelas yang terjadi saya selalu melakukan reporting di twitter atau istilah yang sering dipakai adalah live tweet. Niat saya waktu itu hanya ingin berbagi ilmu yang saya dapat di kelas untuk teman-teman yang tidak dapat hadir karena kapasitas sudah penuh atau tidak memungkinkan ikut kelas. Ternyata live tweet saya tidak hanya dibaca oleh murid, tetapi juga para guru, sehingga kemudian saya mendapatkan tawaran untuk membuka kelas dengan topik-topik yang lain. Misalnya Budiono Darsono, pemimpin redaksi detikcom, yang menawari mengajar jurnalistik, Aidil Akbar tentang finansial, Enda nasution tentang social media dan dunia digital, serta masih banyak guru-guru lainnya.

Kelas demi kelas bergulir hanya dengan niat mewadahi keinginan belajar yang ternyata banyak sekali peminatnya, tanpa direncanakan untuk menjadi suatu gerakan yang besar dan menyebar. Karena saya bisa merasakan kegelisahan teman-teman yang ingin belajar tetapi tidak tahu belajar kemana atau tidak ada biaya. Semua kelas yang saya adakan gratis, dan tempatnya pun berpindah-pindah tergantung siapa yang memberi pinjaman tempat dengan gratis. Begitu juga gurunya, tidak ada satu pun yang saya bayar, mereka dengan ikhlas menyediakan diri untuk menjadi guru dan berbagi ilmu karena mereka percaya ilmu semakin dibagi semakin bertambah dan memberikan manfaat bukan hanya untuk yang menerima tetapi juga untuk yang mengajar.

Suatu kali Budiman Hakim CEO MAXX Advertising ketika mengajar di kelas copywriting, bertanya apa nama kegiatan ini. Saya bengong, karena tidak pernah terpikir untuk memberikan merk atas kegiatan ini. Kemudian beliau menganjurkan untuk memberi nama, karena menurutnya itu penting. Gerakan sosial pun perlu branding. Akhirnya saya pun mencari ide untuk nama kegiatan ini.

Waktu itu saya sedang browsing-browsing tentang training, menemukan kata academy yang kemudian membuat saya berpikir untuk memberi nama Akademi Berbagi. Kenapa berbagi, karena kegiatan ini sepenuhnya adalah berbagi. Yang punya ilmu, berbagi ilmu. Yang punya tempat, berbagi tempat. Yang punya waktu dan tenaga, berbagi menjadi relawan pengurus kelas.

Dan nama akademi saya pilih karena saya ingin orang serius menjalani proses belajar walaupun gratis. Seringkali orang meremehkan yang gratisan karena dianggap tidak bermutu atau kampanye, padahal banyak sekali kegiatan gratis yang bermanfaat. Selain itu saya ingin mengajak teman-teman untuk lebih menghargai guru, dan guru itu bukan hanya yang mengajar di sekolah formal.

Nama itu kemudian saya pakai untuk mengiformasikan kegiatan ini di twitter, blog maupun facebook. Dan salah satu teman relawan memberikan usulan tagline: berbagi bikin happy. Entah kenapa saya senang dengan tagline itu karena saya memang senang menjalankan kegiatan ini. Kalau kita menjalankan segala sesuatu dengan senang hati makanya jalannya lebih mudah dan tidak menjadi beban walaupun tidak menghasilkan uang.

***

Dengan berjalannya waktu dan makin banyaknya kelas, saya tidak sanggup lagi menjalankan sendirian. Beberapa murid menawarkan diri menjadi relawan, dan teman-teman di twitter yang membaca kegiatan kami pun menawarkan diri untuk membantu. Dengan senang hati saya menerima tawaran bantuannya karena kegiatan ini bukan kerja sendirian tetapi kerja kolektif dari banyak orang, dan setiap orang akan bercerita apa yang mereka kerjakan sehingga bisa menginspirasi kepada yang lainnya untuk mau belajar, atau menjadi relawan dan guru.

Kekuatan ceritalah yang membuat kegiatan ini semakin besar. Masing-masing pelaku mempunyai cerita personal sesuai yang dialami dan dirasakan yang kemudian mereka sebarkan baik melalui social media seperti twitter, facebook, blog atau langsung kepada orang-orang disekitarnya sehingga semakin banyak yang terkena virus kebaikan Akademi Berbagi.

Saya tidak pernah meniatkan akan membesarkan kegiatan ini ke berbagai daerah, saya hanya menjalani dan menjaga supaya kelas demi kelas tetap berjalan dengan rutin dan konsisten. Karena di social media batasan geografis tidak ada, banyak teman-teman daerah lain yang ingin membuka kelas Akademi Berbagi karena membaca twitter kami. Saya tidak pernah menunjuk suatu daerah untuk membuka kelas, tetapi kesadaran itu datang dari mereka sendiri karena merasa membutuhkan wadah untuk kegiatan belajar.

Hingga saat saya menulis ini, kegiatan Akademi Berbagi ada di 21 kota : Jakarta, Tangerang, Depok, Bandung, Semarang, Solo, Jogja, Madiun, Surabaya, Malang, Madura, Jambi, Palembang, Medan, Balikpapan, Samarinda, Makassar, Gorontalo, Ambon, Bali, Ende dan selanjutkan akan dibuat di Singapore khusus untuk para TKI. Saya yakin masih banyak kota lain yang akan menyusul walaupun saya tidak mentargetkan. Kebutuhan untuk belajar dan mengajar ada pada setiap orang, karena sesungguhnya belajar itu kebutuhan dasar manusia sepanjang hayat dikandung badan. Tidak ada alasan lagi tidak ada biaya untuk belajar.

 

Jakarta, 29 Desember 2011.

2 Replies to “Sebuah Cerita Tentang Berbagi – Bagian 1”

Leave a Reply to Palupi Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *