Social Media Camp: Creative and Distribution

Social Media Camp: Creative and Distribution

Social Media Camp: Creative and Distribution

Akber Jakarta hadir lagi dengan serial kelas Social Media-nya. Jika kelas pertama bertema Strategy, Content and Buzzers, kelas yang kedua ini bertema lanjutannya, yaitu Creative and Distribution. Kelas ini kerja sama Akademi Berbagi dengan DBS Bank Indonesia.

Kenapa mengangkat tema Creative and Distribution? Sebab untuk menghasilkan konten yang tepat sasaran dan efek sesuai harapan, kita harus pikirkan pendekatan dan pesan seperti apa yang kita keluarkan di media social. Itulah bahasan di tema Creative. Sedangkan bahasan di tema Distribution menyorot bagaimana pesan yang kita keluarkan di media social bisa tersebar ke sebanyak mungkin target audiens yang tepat. Intinya, biar efektif dan berdampak.

Dua guru mengisi kelas yang berlangsung Sabtu, 10 November 2018. Guru pertama, Motulz, adalah Creative Advisor Kreavi. Kalian pernah dengar serial boneka “Sesame Street”? Versi Indonesia-nya diolah oleh Motulz dkk. Sedangkan guru kedua, Glenn Marsalim, adalah Creative Planner @mangkokayamid, yang ternyata lebih senang disebut sebagai Saudagar.

Motulz menyebut ada dua jenis media penyebaran yang saat ini lagi hits. Yang pertama Media Massa, yang kedua Media Sosial. Kalau Media Massa cenderung menyampaikan peristiwa sebagai berita, maka Media Sosial cenderung menyampaikan peristiwa sebagai cerita.

Bedanya berita dan cerita tuh apa? Berita itu menyampaikan runtutan info, apa adanya, dan bahasanya pun kering. Kalau cerita, penyampaiannya pakai beraneka pendekatan, biasanya pendekatan dari sisi humanis, atau berangkat dari apa yang dibutuhkan pembacanya. Bahasa di cerita juga lebih lemesin aja.

Cerita itu ada unsur personalnya. Jika penulisnya tidak punya sesuatu yang personal di situ, bisa ambil dari personal orang lain yang mewakili. Bagus juga kalau ada unsur yang emosionil. Audiens bakal lebih terusik, gitu.

Gimana Biar Konten-nya Kreatif?

Berita dan Cerita punya satu persamaan: PESAN. Mengolah pesan, apalagi yang kreatif, tidak mudah tapi menantang. Pesan mana yang lebih mudah masuk ke audiens? Yuk, simak beberapa contoh dari Motulz tentang mengolah pesan.

Dulu bersama Sesame Street, Motulz pernah bikin event tentang “pendidikan dasar finansial”. Karena sasarannya anak-anak, maka tema itu diturunkan lagi jadi “menabung”. Ternyata setelah di-cross check ke hasil penelitian psikolog anak dan sejumlah ahli, tidak boleh pakai kata “Menabung”. Kenapa? Karena anak-anak tidak suka. Dia merasa uang otoritas dia. Akibatnya mereka akan menolak kalau disuruh menabung.

Jadi mesti bagaimana kalau mau kampanye “menabung” ke anak-anak? Mestinya jangan pakai istilah menabung. Pakailah pesan tentang “gartifikasi yang tertunda” / “delay gratification”. Kasih pemahaman ke anak kalau dia akan dikasih uang sebagai penghargaan karena (misal) setiap hari merapikan kamar sendiri. Nanti uang itu dia kumpulkan. Pas uangnya sudah terkumpul dan dia ingin beli mainan, ortu bisa menyampaikan pesan, kalau uang itu dikumpulkan lagi lebih banyak maka bisa beli mainan yang lebih besar. Jika anak melakukannya, berarti terbentulah tindakan menabung.

Contoh lain adalah kampanye AntiKorupsi. Secara yang korupsi itu sebenarnya bukan hanya PNS atau swasta yang kerjasama dengan pemerintah, maka perlu padanan kata “korupsi” yang lebih tepat, yang lebih jleb. Motulz mengutak atiknya. Karena waktu itu berdekatan dengan moment Idul Fitri, maka didapatlah pesan semacam “Selamat Idul Fitri, Selamat Pulang Membawa Rejeki Bersih.”

Lantas bagaimana caranya supaya jago mengolah pesan jadi berita dan cerita yang tajam? Latihan. Begitu saran Motulz. Okesiap.

 

Gimana Biar Viral?

Glenn Marsalim, sekarang Creative Planner sebuah digital agency, ternyata sering frustrasi karena banyak creative yang menurutnya biasa saja tapi viral. Ada apa di balik ini semua? Kenapa iklan bagus malah tidak ada yg melihat?

Jawabannya adalah: di-konstruksi. Dibikin. Dibangun. Jadi apa yang kalian lihat di layar hp, semua adalah hasil konstruksi, tak ada yang organik.

Lantas bagaimana konstruksinya? Bagaimana pula distribusinya biar viral? Di sinilah Glenn melihat celah mendistribusi pesan. Dari yang dia amati, pembuat konten tuh makin banyak. Pembuat konten perlu materi untuk kontennya. Materi inilah yang disediakan oleh orang-orang kreatif biar pesannya tayang.

Glenn memberi contoh pengalamannya sendiri dengan tas Mangkok Ayam produksinya.

Sumber: Slide Deck Glenn Marsalim

Dalam periode singkat, foto-foto tas Mangkok Ayam bermunculan, dipakai oleh orang-orang di banyak Negara di seluruh dunia. Hebat ya. Baru produksi sudah tersebar ke seluruh dunia. Eh tapi jangan salah. Ternyata foto-foto itu sudah dikumpulkan selama setahun, baru diupload dalam waktu hampir bersamaan, biar kesannya ini terjadi di periode yang singkat. Ternyata lagi, orang-orang di seluruh dunia yang foto sama tas Mangkok Ayam adalah teman-teman Glenn sendiri. Mereka ada yang pramugara, film distributor, dan traveler. Jadi tak heran kalau dengan cepat mereka bisa foto di berbagai negara. Foto-foto mereka kadang tidak menunjukkan muka, hanya badan dan tas Mangkok Ayam. Makanya terkesan yang pakai tas itu banyak. Inilah contoh kalau viral itu dikonstruksi.

Cerita tas Mangkok Ayam berlanjut. Ada artis-artis yang foto pakai tas itu karena memang mereka suka. Setelah itu secara kebetulan tas Mangkok Ayam jadi properti sebuah film. Jadi waktu itu artisnya harus syuting, mestinya tidak usah pakai properti, tapi si artis merasa kalau pakai tas akan lebih bagus. Kebetulan artis itu bawa tas Mangkok Ayam. Karena dirasa cocok dengan tema adegan, maka dipakailah tas tersebut itu sebagai properti si artis. Promosi gratis.

Sumber: Slide Deck Glenn Marsalim

Setelah masuk film, pembeli tas Mangkok Ayam makin banyak. Yang posting dengan ta situ makin banyak. Dari foto-foto mereka, Glenn sebagai saudagar jadi tahu siapa saja follower dan pembeli tas-nya. Mereka adalah orang-orang pinggir sawah, para pekerja di perkotaan, mahasiswa, dan yang segmennya paling besar adalah Foodies.

Pernah nih tas Mangkok Ayam masuk ke tempat yang lebih fancy seperti toko buku Aksara dan Museum Macan, tapi ternyata di sana tak banyak pembelinya.

Jadi dari foto-foto organik, didapatlah karakter pembeli yang asli. Dari situ dibuatlah segmentasi konsumen. Setelah itu pesan dari produsen langsung di-boost ke para konsumen tersebut.

Tapi tas yang begitu-begitu saja tidak bisa diharapkan untuk viral terus menerus. Makanya Glenn memproduksi produk lagi yang kira-kira bisa viral: hijab. Sebab dari foto-foto organic sebelumnya, terlihat kalau pemakainya banyak yang berhijab. Tentu saja waktu merancang motif hijab mesti hati-hati, karena di hijab tidak boleh ada gambar mahluk hidup (dalam hal ini ayam). Jadi dipasanglah motif bunga-bunganya si Mangkok Ayam, lalu diproduksi.

Viral lagi? Iya.

Perlu diperhatikan, motif orang bikin konten dikelompokan sebagai berikut :

  1. Money,
  2. Love,
  3. Fame,
  4. Networking,
  5. Entertainment.
  6. Education.

 

Produsen materi apa pun yang ingin materi viral harus paham motif-motif di atas. Harus ada cerita atau statement yang menyentuh kebutuhan, emosi, kepuasan, dan posisi penggunanya. Dengan begitu viral-nya juga kreatif. Tak usah lah mengandalkan hashtag, karena overated. Like di medsos juga tidak signifikan ke penjualan kok. Yang jelas, segala promosi, termasuk di media sosial perlu waktu. Begitu kata Glenn.

Peserta Tuli, #LiveKind #LiveMoreSociety

Kelas akber yang berlangsung di DBS Tower kali ini lebih istimewa karena ada teman-teman dari komunitas tuli jadi muridnya. Tentu saja ada penerjemah bahasa isyaratnya sehingga mereka bisa mengikuti materi bersama.

DBS Indonesia dengan campaign #LiveMoreSociety mengajak  banyak komunitas untuk kerja sama melakukan inisiatif kebaikan, salah satunya bersama Akademi Berbagi. Aktivitas yang dilakukan bersama Akademi Berbagi adalah mengajak masyarakat Indonesia untuk melakukan insiatif kebaikan dan memabgikannya di media social Instagram dengan melampirkan tagar #LiveMoreSociety #LiveKind #DBSxAkber. Yuk ikut berbagi kebaikan.

Dengan insiatif baik #LiveMoreSociety dan semangat #LiveMoreBankless, DBS Indonesia berkomitmen untuk terus berinovasi memberikan produk dan layanan terbaik serta kemudahan bertransaksi kepada para nasabah.

 

Tulisan oleh Budhita Arini
Dokumentasi foto oleh Mujib

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *