Ada hal menarik yang saya dapat dari mengikuti Leadershi Workshop Akber minggu lalu (22-24 February 2019). Bahwa untuk belajar, tidak hanya kerendahan hati yang diperlukan, tapi juga pikiran yang bersih dari ekspektasi.
Sejak gabung tahun 2013 lalu, hampir tidak ada workshop Akber yang absen saya ikuti, baik sebagai peserta maupun sebagai panitia. Selain berkumpul dan bertemu dengan relawan dari seluruh Indonesia, workshop ini juga bertujuan untuk membekali kami membangun Akber di kota masing-masing agar terus berkembang dan membawa manfaat bagi banyak orang. Bisa dibilang, workshop Akber menjadi semacam ‘kemewahan’ bagi relawan karena mentor-mentornya yang keren.
Tapi, ada yang berbeda di workshop yang saya ikuti minggu lalu. Saya tidak merasakan kegembiraan ataupun semangat yang sama yang biasanya saya rasakan ketika hari workshop makin dekat. Beberapa bulan ini saya memang sedang kehilangan semangat untuk kembali bekerja dan belajar di Akber. Kegiatan yang dirasa dulu sangat menyenangkan, kini dirasa sungguh membosankan dan seperti jalan di tempat, tak ada kemajuan. Mungkin salah satu pemicunya karena saya yang merasa gagal membuat perubahan atau setidaknya sedikit kemajuan selama hampir 6 tahun di Akber dan 3 tahun menjadi kepsek, padahal udah bolak balik ikut workshop. Bahkan waktu itu saya sempat mempertimbangkan untuk berhenti sejenak dari Akber.
Bertemu dengan relawan dari berbagai kota di Indonesia pun tidak lagi menjadi hal yang istimewa bagi saya. Padahal biasanya, saya selalu bersemangat jika bertemu orang baru. Iya, saya seperti tidak mengenal siapa saya. Saya yang dikenal seperti sedang cuti liburan yang entah kapan baliknya.
Dengan perasaan yang serba ngga jelas tadi, saya tetap datang ke workshop. Semata-mata sebagai bentuk tanggung jawab, bukan lagi sebagai kebutuhan. Saya mulai merasa mendatangi event Akber bukan lagi menjadi sebuah keharusan.
Akhirnya, workshop pun dimulai.
Materi demi materi saya ikuti. Mungkin karena tidak terlalu banyak peserta, saya jadi lebih fokus dengan materi yang disampaikan mentor. Makin lama, saya makin tertarik. Semangat yang tadinya mulai memudar, perlahan kembali. Supply semangat pun saya dapatkan dari cerita relawan yang berupa keluhan. Dari cerita mereka saya jadi tau, bahwa saya tidak sendiri yang sedang berpikir untuk menyerah dan memiliki masalah dengan kota plus relawannya bukan hanya saya sendiri. Walaupun dibumbui dengan cerita julid sedikit, kami saling menguatkan. Bertukar pikiran serta memberi saran bersama untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi.
Gelas saya yang tadi hampir kosong, perlahan-lahan penuh dengan cerita-cerita dan pelajaran-pelajaran baru yang siap dipraktekkan. Dari sini saya pun belajar:
1. Bahwa di zaman yang serba digital ini ternyata bertemu langsung masih sangat diperlukan. Walaupun bisa ngobrol melalui chat atau video call, tentu rasanya berbeda ketika bertemu. Tukar cerita jadi lebih jelas, bercanda pun jadi lebih lancar.
2. Bahwa jangan pernah merasa masalahmu adalah yang tersulit. Ada orang lain yang memiliki masalah yang bisa jadi jaaaauh lebih sulit lagi.
3. Bahwa membersihkan pikiran dari segala ekspektasi adalah salah satu cara ampuh untuk belajar. Pikiran yang bebas dari ekspektasi akan mematikan suara-suara kecewa yang sering membuat kita menolak ilmu baru yang masuk.
Lalu, apakah saya menyesal pernah berpikir untuk meninggalkan Akber? Enggak dong! Karena dari pikiran tersebut justru saya mendapat jawaban untuk tetap bekerja dan menjadi relawan Akber setidaknya untuk sekarang atau bahkan bertahun-tahun kemudian.
Tulisan oleh Annisa Kusumawardhani, relawan Akademi Berbagi Jadetabek