Oleh Abdillah Irsyad El Nur
Senyum ramah dengan diiringi bahasa isyarat menjadi sambutan hangat kelas Akademi Berbagi kali ini. Kelas yang mungkin tidak biasa dari kelas-kelas sebelumnya, karena kelas ini membahas tentang bahasa isyarat Indonesia untuk teman dengar yang disampaikan oleh Komunitas Arek Tuli Surabaya (KARTU).
Ulfa dan Nasta yang merupakan anggota dari KARTU mencoba berinteraksi dengan para peserta kelas dengan bahasa isyarat, menggunakan tangan dan telunjuknya untuk mencoba mengajarkan istilah-istilah dasar yang sering digunakan oleh para penyandang Tuli. Mulai dari mengenal bahasa isyarat untuk penyebutan abjad, nama hari, nama bulan dan kata-kata umum yang sering digunakan sehari-hari. Semua itu mereka ajarkan menggunakan bahasa isyarat yang kemudian diterjemahkan artinya kedalam bahasa latin Indoensia.
Antusiasme yang sangat tinggi terlihat dari para peserta kelas untuk belajar bahasa isyarat. Beberapa tanggapan dari peserta kelas menyebutkan perlunya belajar bahasa isyarat agar dirinya mampu berinteraksi dengan orang Tuli sehingga dapat saling bertukar informasi. Serta dapat menolong jika terdapat orang Tuli yang membutuhkan bantuan, karena orang Tuli juga merupakan bagian dari masyarakat kita yang layak mendapatkan hak dan fasilitas yang sama.
Selama ini kita kerap menggunakan kata-kata tertentu untuk menyebut orang-orang yang memiliki kekurangan atau keterbatasan dengan maksud tidak menyinggung perasaan atau merendahkan mereka, salah satunya seperti istilah tunarungu untuk orang yang tidak bisa mendengar. Namun ternyata disebagian kalangan penyandang tunarungu banyak yang menolak sebutan tunarungu disematkan kepada mereka. Menurut mereka, tunarungu pesannya masih berdasarkan kasihan, karena kata itu muncul dari istilah kedokteran yang menganggap ada hubungan kerusakan fisik (tuna-) dengan rungu (pendengaran). Oleh sebab itu mereka lebih nyaman untuk dipanggil sebutan orang Tuli (Menggunakan huruf ‘T’ besar). Istilah Tuli bagi mereka lebih netral dan tidak membawa kesan bahwa ada ‘kerusakan’ terkait pendengaran mereka. Bahwa mereka terlahir sudah dalam kondisi tersebut, tidak ada kerusakan dan memiliki budaya serta bahasa sendiri dalam kelompoknya.