Apa sih yang terpikir ketika mendengar kata fotografi? Hobi yang mahal dan membutuhkan banyak uang? Tidak bagi seorang Roni Azhar (@9ballstraight). Di kelas @akberjogja bertemakan “Dokumentasi Yang Manusiawi” yang berlangsung di halaman Benteng Vastenburg, 14 Maret 2014 kemarin, Roni membagikan pandangannya mengenai dunia fotografi kepada Akberians Jogja.
——-
(Kelas Lesehan di halaman depan Benteng Vastenburg, Yogyakarta)
Roni Azhar saat ini tengah merasa prihatin terhadap kondisi dunia fotografi di Indonesia, di mana fotografi menjadi terafiliasi dengan gadget-gadget atau kamera yang mewah dan tak terjangkau harganya. Situasi tersebut jauh dari esensi sesungguhnya dari fotografi yang bukanlah terletak pada kualitas tools yang dipakai, namun pada pendokumentasian momen-momen dalam hidup.
Akibat dari stigma negatif tersebut, kini muncul kesalahpahaman mengenai definisi fotografer amatir dan fotografer profesional di dalam dunia fotografi, yang mengakibatkan sebagian orang merasa malu menyebut dirinya sebagai fotografer hanya karena tidak memiliki gadget yang fotografer-esque.
Padahal pada dasarnya semua orang yang tertarik dengan fotografi adalah fotografer. Mengapa? Bila dicek, kata amatir berasal dari kata ’amateur’ dalam bahasa prancis, yang berarti ‘lover of’ atau pencinta. Sehingga, tidak salah apabila semua orang yang memiliki ketertarikan di bidang fotografi menyebut dirinya sebagai fotografer, tanpa harus memiliki kamera berharga jutaan hingga puluhan juta rupiah.
Kembali lagi ke masalah dokumentasi, lantas apa sih fungsi dari mendokumentasikan momen? Buat Atuk, fungsi foto sebagai dokumentasi momen adalah layaknya keyword ketika kita mencari data di search engine atau di harddisk komputer, sehingga kita tidak kesulitan memproses ingatan kita menuju momen yang terdapat di foto tersebut. Mengapa dokumentasi perlu dilakukan? Tentu karena otak manusia memiliki batas untuk mengingat momen-momen yang ditanamnya.
Lalu bagaimana dengan konsep dokumentasi yang manusiawi? Sebuah hasil dokumentasi dapat disebut sebagai dokumentasi yang manusiawi ketika sang dokumentator mengenali obyek yang dia foto, serta mengerti cerita yang terkandung di dalamnya yang ingin dia sampaikan dalam foto tersebut.
Ditambahkan Atuk, tanpa pemahaman mengenai konsep dokumentasi yang manusiawi, dokumentasi dapat menjadi alat yang berbahaya, sebab cukup dengan merubah layout atau angle, seorang dokumentator bisa mengubah cerita yang ingin disampaikan mengenai momen terkait, dan tentunya dapat mengubah opini publik dalam menilai momen tersebut.
Dengan potensi power dan influence yang cukup besar, pada akhirnya dokumentasi adalah soal pilihan. Seorang dokumentator dapat memilih apakah ingin menjadi seorang dokumentator yang jujur atau seorang dokumentator yang tidak punya hati.
(Atuk, alias Roni Azhar)
————
Nah, seru kan materi yang diberikan oleh Roni Azhar (@9Ballstraight) di kelas @akberjogja? Merasa nyesel karena nggak ikutankelas ini? Jangan khawatir, masih banyak cerita seru di kelas-kelas kami selanjutnya.
[Sumber Cerita Akber: dari tulisan @setyotw di blog Akber Jogja]