Pada hari kedua Ramadan, Akademi Berbagi kembali mengadakan kelas untuk umum bersama Handry Satriago, CEO GE Indonesia. Mengambil tema “Working from Home (WFH) dan Pergeseran Kultur Bekerja”, kelas yang dilakukan secara daring ini diikuti lebih dari 100 orang pada Sabtu pagi (25/04). Peserta yang tidak dapat mengikuti kelas secara langsung ke dalam zoom meeting dapat menyaksikan melalui YouTube Akademi Berbagi. Selain berasal dari Jabodetabek, relawan mencatat kelas juga diikuti oleh akberians dari Balikpapan, Banyuwangi, Surabaya, bahkan Jerman.
Handry Satriago membuka kelas dengan menjelaskan bagaimana WFH dan/atau remote working sebagai hal yang tak terelakkan bagi setiap organisasi masa depan. Ia mengulang kembali pendapat Chris Herd, Founder & CEO @ Firstbase gatakan bahwa remote working adalah salah satu inovasi terbesar dekade ini. Organisasi yang tidak mampu melakukannya akan mengalami ketertinggalan dan bisa kalah dalam persaingan di masa depan.
“Kita harus pahami dulu mengenai konteks WFH atau remote working ini. Tidak semua pekerjaan bisa dijadikan WFH atau remote working. Ada banyak pekerjaan yang membutuhkan interaksi tatap muka, keberadaan orang secara langsung, itu tidak bisa di-WFH-kan,” kata Handry.
Tak lupa Handry juga menyampaikan bahwa di dalam konteks pandemi saat ini, WFH merupakan suatu “kemewahan” yang tidak dimiliki oleh setiap pekerja. sehingga pelaku WFH selayaknya bersyukur dan berempati kepada yang tidak dapat melakukannya.
WFH dan/atau remote working membawa hal baru yang dibutuhkan organisasi untuk terus bertahan. Disebutkan Handry, pengurangan biaya untuk transportasi juga berarti pengurangan emisi. Selain itu, WFH dan/atau remote working ini mengurangi biaya sewa ruang kerja maupun operasional kantor lainnya. GE Indonesia berhasil menghemat biaya operasional kantor hingga 65% dari sebelumnya dengan penerapan flexible hours, WFH jika dibutuhkan, serta open space.
Dilanjutkan Handry, kultur bekerja secara global pun telah berubah. Survei yang dilakukan pada milenial menunjukkan 85% di antaranyal menginginkan WFH dan/atau remote working. Ada anggapan bahwa konsep ini memberikan akses yang lebih besar pada work-life-balance. Selain itu, Handry juga mengatakan konsep ini juga dapat meningkatkan potensi keragaman bagi rekan kerja.
Konsep WFH dan/atau remote working akan terus berkembang. Akan ada banyak studi tentang bagaimana mengerjakannya secara efektif dan efisien. Karena setiap organisasi akan memiliki kultur yang berbeda-beda. “This is the right time to learn. Tahun 2020 ini probation period untuk 10 tahun ke depan,” ujar Handry.
Agar WFH dan/atau remote working dapat berjalan lancar dan berhasil, Handry membagikan beberapa tips, di antaranya:
- Dibutuhkan right mentality. Setiap orang harus menjadi sosok profesional untuk bisa melakukan WFH dan/atau remote working dengan efektif. Sederhana saja, selama gaji diambil, kalian harus melakukan yang terbaik; Ini masalah integritas. Do the right thing, do things right.
- WFH dan/atau remote working membutuhkan the right bosks. Pemimpin yang bisa memberikan kebebasan dan kepercayaan, sekaligus panduan yang jelas kepada anggota timnya. Pemimpin yang baik juga harus mampu memberikan bimbingan kepada para anggota tim jika diperlukan.
- Target capaian yang jelas menjadi keharusan berikutnya: apa saja ukuran keberhasilannya. Beberapa matriks lama pasti harus diubah untuk memenuhi kultur kerja baru ini.
- Terakhir, pribadi yang menjalankan WFH dan/atau remote working harus memiliki action plan yang jelas dan efektif. Kemudian, dia harus mampu melakukan penyesuaian, persiapan, dan mitigasi risiko yang diperlukan untuk mencapai target-target yang telah disepakati.
Perubahan yang cukup cepat seringkali menyebabkan kegamangan bagi banyak anggota tim. Berbagai isu yang timbul mulai dari kebosanan hingga kapasitas yang berbeda-beda, baik dari sisi sarana kerja, maupun kapasitas penguasaan teknologi pasti akan mewarnai proses perubahan dari kultur WFO (working from office) ke WFH dan/atau remote working. Dalam beberapa kasus, WFH dan/atau remote working semakin meningkatkan beban kerja. Agenda yang padat dan upaya-upaya penyesuaian tidak bisa dihindari. Tetapi, Handry menilai hal tersebut akan dapat diatasi seiring waktu. Yang terpenting, terus dicoba dan dilakukan.
Bagi para pemimpin yang masih beradaptasi, baik karena terpaksa ataupun ingin melakukan penyesuaian secara strategis, Handry menyarankan agar segera mengatur pola kerja tim dengan cermat, membuat instruksi jelas dan terus mengulanginya. Kemudian jika diperlukan, lakukan pelatihan/coaching kepada anggota tim serta menerapkan ritual dan ritme dalam strategic management.
“Ritme ini biasanya dikenali sebagai operating process. Sementara ritual ini dilakukan atas dasar kesamaan hati, ataupun dari pemimpin karismatik, dan kebersamaan yang dijalin sedemikian lama,” terang Handry.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam kondisi dunia saat ini, belajar dari pandemi Covid-19, organisasi juga harus menyiapkan diri untuk perubahan yang semakin cepat dan tidak terduga. Kepada para individu, Handry berpesan agar bisa bertahan di proses perubahan semacam ini maka terdapat dua hal penting yang harus diasah dan dikembangkan, yaitu kreativitas dan jaringan. Terus produktif di masa sulit itu penting, tambahnya.
Menutup kelas Akademi Berbagi di hari kedua Ramadan, Handry menyampaikan tiga hal sebagai intisari kelas:
- Embrace the reality. Memang tidak mudah, semakin kita mengetahui faktanya, akan membantu untuk melangkah dan melakukan yang diperlukan untuk bertahan
- Redefine what’s the meaning of winning. Akan ada banyak perubahan dan penyesuaian yang harus dilakukan, termasuk menetapkan kemenangan dalam sebuah strategi.
- Execute the plan, whatever it is. Jangan biarkan rencana hanya menetap di awang-awang.
*ditulis oleh Danasmoro Brahmantyo, Relawan Akademi Berbagi – Jadetabek