Saya bukan penikmat film yang rajin ke bioskop. Tidak banyak film yang saya tonton. Seringkali menonton film Indonesia karena bikinan teman, atau karena buku yang saya baca. Dari sedikit film yang saya tonton, Laskar Pelangi salah satu yang cukup melekat di ingatan. Salah satu adegan yang cukup mengena di hati saya adalah, ketika awal masuk sekolah Bu Muslimah sang guru dengan harap-harap cemas dan raut wajahnya yang gundah, menunggu murid datang ke sekolah. Akankah jumlah murid memenuhi quota yaitu 10 anak. Jika kurang dari 10, maka SD Muhammadiyah Gantong tidak berjalan. Betapa pentingnya angka 10 demi berlangsungnya sebuah sekolah yang notabene sangat dibutuhkan untuk masyarakat Gantong.
Hal tersebut kemudian mengingatkan saya kepada Akademi Berbagi (Akber). Selama kurung waktu hampir 9 tahun, saya masih seperti Bu Muslimah yang gundah gulana mengikuti perkembangan Akber yang naik turun. Baik dari jumlah kota, relawan maupun murid yang belajar. Masalah selama 9 tahun masih sama : kesulitan mencari guru, kecuali di kota-kota besar seperti Jakarta, Jogja, Semarang, serta murid yang angot-angotan. Sudah daftar tapi tidak datang, Kualitas sumber daya manusia yang sangat timpang, kebanyakan orang-orang yang pintar dan mau berbagi adanya di Jakarta atau kota-kota besar. Untuk kota-kota kecil atau daerah luar Jawa masih kesulitan menemukan guru berkualitas yang berbagi dengan cuma-cuma. Tetapi itu tidak menyurutkan harapan saya. Hingga kini saya masih percaya, dan selalu meyakinkan teman-teman di daerah, bahwa pasti ada orang pintar dan baik yang mau berbagi di daerah masing-masing. Hanya perlu usaha lebih keras lagi untuk mencarinya.
Bagaimana dengan murid? Masak tidak ada yang berminat belajar secara gratis dan mendapat ilmu yang manfaat? Begitulah kenyataannya, tidak selalu setiap kelas banyak muridnya. Sampai hari ini ada 49 kota yang menyelenggarakan kelas Akber masih mengalami masalah yang sama, kesulitan mencari murid yang mau belajar tanpa konsumsi, goodie bag, tanpa sertifikat ataupun uang transport. Murni karena kemauan belajar untuk mendapatkan ilmu dan networking. Kesadaran murid untuk belajar, baik di kota besar, kecil ataupun luar Jawa masih sama, tidak mudah mendapatkan murid kecuali gurunya terkenal atau materinya sedang hits. Materi-materi penting, tapi gurunya gak terkenal seringkali masih kurang diminati.
Apakah ukuran kesuksesan dari gerakan Akber? Jumlah murid, jumlah guru, banyaknya relawan atau banyaknya kota yang menyelenggarakan? Celakanya kita (memang) mengukur kesuksesan dengan angka karena ini paling mudah pembuktiannya. Atau seberapa meriah kelas (event) nya dengan melihat berapa banyak peserta yang datang, masuk media mana saja dan adakah orang penting yang hadir. Saya pun ikut terjebak dalam ukuran kesuksesan tersebut. Makanya dengan gencar saya woro-woro kegiatan Akber di berbagai acara, tampil di media atau hadir di berbagai kegiatan networking bersama orang-orang penting.
Pada suatu hari, saya ngobrol dengan Enda Nasution di sebuah acara. Dia bercerita tentang pengalamannya mengikuti berbagai workshop di luar negeri. Salah satu cerita yang kemudian saya ingat terus adalah, dalam sebuah workshop yang terdiri dari berbagai tema, semua peserta boleh memilih tema yang diminati. Ada salah satu kelas yang pesertanya cuma satu orang dan workshop itu tetap berjalan, pembicara pun tetap bersemangat mengajar. Karena bukan jumlah yang dikejar, tetapi proses transfer ilmu dan diskusinya. Walaupun satu orang, jika dia bersungguh-sungguh dan berminat maka sangat mungkin ilmu itu akan menyebar dan bermanfaat.
DANG!! Saya pun merasa ditampar. Apa sesungguhnya tujuan kami menjalankan Akademi Berbagi? Apakah mengejar sukses dengan jumlah murid yang banyak? Kelas yang rame dan diliput banyak media? Para pengajar yang terkenal? Saya pun mengingat kembali awal perjalanan kelas Akber yang dimulai dengan 10 orang. Semangat kami adalah belajar dan berbagi. Memberikan akses untuk mengembangkan diri dengan murah dan mudah. Ketika belajar, training maupun workshop semakin mahal, di kelas kami semuanya gratis. Guru-gurunya pun bukan sembarangan tetapi orang-orang ahli dan para praktisi yang berpengalaman dan bahkan para profesional hebat.
Tugas kami, menjadi jembatan antara pemilik ilmu dan orang-orang yang membutuhkan. Berapa pun yang datang dan belajar, kelas harus tetap berjalan. Karena sesungguhnya gerakan kami bukan untuk mengklaim diri sebagai kegiatan social movement yang besar dan sukses dengan angka tertentu, tetapi kami ingin akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk belajar dan berjejaring. Kalau perlu di semua kota dan kabupaten ada Akber supaya semakin banyak orang bias belajar dan mengajar. Akber berusaha memberi kesempatan kepada orang-orang yang mau berkembang. Kami sangat senang, ketika ada salah satu murid kemudian menulis di timeline : “terimakasih @akademiberbagi pelajaran hari ini sangat bermanfaat”. Harganya jauh lebih mahal daripada angka-angka pencapaian tersebut.
“Ketika kelas yang dibuat memberikan manfaat walaupun hanya 1 orang, itulah sebenarnya esensi dari kegiatan kami, menebar manfaat. Bukan soal jumlah. Tapi soal dampak.”
Pada hari relawan 5 Desember 2018 ini, saya secara khusus ingin mengucapkan selamat dan terima kasih kepada seluruh relawan Akademi Berbagi, baik yang masih aktif maupun alumni. Saya tahu, bukan hal yang mudah menjadi relawan Akber. Karena kita menjalankan kegiatan kerelawanan di sela-sela pekerjaan utama, baik sebagai pekerja, mahasiswa, ibu rumah tangga atau pun pengelola usaha. Gerakan Akber bisa sampai di posisi sekarang ini adalah hal yang luar biasa, karena tidak ada satu pun yang dibayar. Terima kasih untuk semua relawan pengurus Akademi Berbagi di mana pun berada. Tetap semangat dan istiqomah menjalankan kelas demi kelas. Seperti yang saya selalu ungkapkan: Akademi Berbagi ini adalah virus. Virus kebaikan yang terus menyebar tanpa penting lagi siapa penggagasnya karena Akademi Berbagi milik semua.
Soal jumlah? Bukan masalah! Karena Berbagi selalu bikin happy! Selamat hari relawan teman-teman baik.
Salam hormat dari saya, Ainun Chomsun-Founder Akademi Berbagi.
Tulisan oleh Ainun Chomsun