Mengamati mereka yang hidup tidak seberuntung kita yang ‘sempurna’ secara fungsi lahiriah akan membuat kita bersyukur dengan apa yang telah Tuhan berikan.
Saya memiliki seorang kakak perempuan dengan keterbatasan pendengaran dan bicara (tuna rungu). Berkomunikasi dengan mereka dalam proses berkembang menjadi dewasa tidak mudah. Berusaha mempelajari dan memahami keinginan mereka melalui bahasa isyarat atau huruf yang dieja. Kadang, saya bingung dan terpancing emosi jika tidak kunjung mengerti apa yang sedang mereka utarakan.
Menghadapi mereka, tuna rungu yang sedang tantrum atau emosi meledak, adalah the hardest part yang pernah saya hadapi. Jangankan mengajak mereka berpikir secara logika, saya harus mampu menerka dengan pasti apa penyebab ledakan emosi itu.
Komunikasi adalah hal yang paling krusial untuk dapat masuk ke dunia mereka. Karena pada dasarnya, seorang yang tuna rungu bukan orang yang pendiam. Mereka suka sekali bercerita dan sangat ekspresif. Di saat teknologi ponsel belum sedemikian penetrative ke dalam lingkungan pergaulan mereka, saya masih mengandalkan SMS atau menunggu momen pulang kampung ke Mojokerto untuk bisa berinteraksi dengannya.
Kakak perempuan saya menikah dengan suami yang juga seorang tuna rungu. Mereka sudah dikaruniai satu orang putra yang alhamdulillah lahir dalam keadaan normal dan bukan seorang tuna rungu. Hal tersebut menjawab satu hal, bahwa tuna rungu bukan penyakit turunan.
Keponakan saya itu namanya Dava. Saat ini ia duduk di kelas 2 SD. Anaknya sangat aktif dan berkomunikasi normal dengan kedua orang tua serta teman-temannya. Saya menyebut Dava sebagai anak dengan kemampuan HYBRID dalam hal berkomunikasi. Karena ia harus mampu berkomunikasi dengan kedua orang tua yang tuna rungu dan juga dengan orang-orang normal yang ia temui. Alhamdulillah kedua model komunikasi tersebut berjalan lancar sampai sekarang.
Saya senang mengamati circle pertemanan kakak perempuan saya yang kumpul di rumah. Dengan antusias dan bahkan sampai larut malam, mereka betah ngobrol satu sama lain. Yang berbeda adalah antusiasme mereka ‘sunyi’, hanya sesekali terdengar suara dan bahasa isyarat yang berbalas peraga. Saya biasa menyebutnya ‘obrolan dalam sunyi‘.
Untuk teman yang tidak dapat hadir, mereka menggunakan teknologi Video Call. Dalam obrolan itu mereka merencanakan banyak hal. Termasuk dukungan politik ketika diminta untuk berpartisipasi di pilkada/pilpres.
Dengan berada di era digital sekarang ini dan cara beradaptasi yang mereka gunakan, saya pribadi merasa bersyukur bahwa mereka yang dulunya terkendala dengan komunikasi sekarang dapat menjadi pengguna fitur video call. Mereka menunjukkan bahwa tuna rungu tidak harus menjadikan mereka tuna digital.
Sebuah otokritik terhadap diri saya sendiri yang dengan sangat piawai menggunakan teknologi dan produk digital, tapi interaksi saya terhadap lingkungan sekitar mulai tergerus secara perlahan. Jika disebut teknologi menjadikan kita tuna sosial mungkin terlalu ekstrem. Tapi bisa jadi kita sedang mengarah ke sana.
Hidup di dunia digital saat ini adalah kemudahan dari balik gadget yang bisa didapatkan di mana pun. Bahkan untuk bekerja pun sekarang mulai banyak yang menyatakan ingin bekerja remote dari rumah. Hidup jadi lebih praktis.
Semua orang pasti ingin hidup semudah klik gadget dan semua yang kita inginkan akan datang. Tapi jangan lupa satu hal, bahwa menjadi manusia tidak semudah mengklik menu layanan di ponselmu.
Ditulis oleh Rendra Kurniawan, relawan Akber Jakarta